Tiba-Tiba
TIBA-TIBA
Minggu, 16 September 2018.
Aku baru saja menyelesaikan Capacity
Building bersama teman-teman kantor kemarin. Yah, semacam kegiatan rekreasi
bersama teman-teman sekantor. Bersepeda, bermain ATV, makan bersama dan
karaoke. Cukup bagus, aku menikmatinya. Aku bisa menghirup udara asri di
pedesaan. Melihat rindang pepohonan dengan kedua mataku dan memanjakan perut
dengan makanan gratis yang enak. Hahaha.
Lalu pada hari selanjutnya (di hari
Minggu tentunya), aku kedatangan tamu jauh. Seorang kakak kelas yang dulunya
tak pernah kukenal. Kita sebut namanya “Sir Warnhead Artup”, baiklah namanya
adalah sebuah anagram yang akan kubiarkan menjadi sandi agar orang-orang tak
mudah berprasangka. Aku mengetahuinya hanya sebatas kakak kelas dua tahun di
atasku saat SMA. Dia ikut ekstrakurikuler pramuka dan seorang ahli biologi.
Belakangan aku tahu dia juga ikut English Club, sebuah ekstrakurikuler yang aku
ikuti juga.
Terbatasnya pengetahuanku akan dia,
membuat kami tak pernah berbincang. Bahkan untuk hal serius atau remeh, tak
pernah. Hingga saat itu tiba, aku kelas XII dan dia tentu sudah duduk di bangku
kuliah. Dia datang seorang diri mengenakan seragam cokelatnya yang khas dan
menerangkan ini-itu tentang kampusnya. Yah, pada intinya dia ingin
bersosialisasi mengenai kampusnya dan berusaha menarik minat kami para siswa
kelas XII (yang pada saat itu aku tidak tahu mau melanjutkan kuliah dimana).
Singkat cerita, aku tertarik dengan
kampusnya. Dan disanalah perbincangan pertamaku dengan Sir Artup. Seharusnya
dia sudah tahun kedua kuliah jika aku kelas XII saat itu, tapi ternyata dia
masih tahun pertama (dia sempat kuliah satu tahun di salah satu universitas
negeri di Surabaya). Baiklah, perbincangan pertama kami tak begitu menarik. Aku
hanya bertanya ini-itu perihal kuliah, dia memberiku kontaknya dan hanya
kuhubungi sesekali saat aku merasa penasaran dengan kampusnya yang kusebut “kampus
impian”.
Tahun 2015, aku lulus SMA. Aku
memutuskan mendaftar kuliah di tempat dia kuliah (hahaha). Ini karena
keinginanku sendiri (aku sama sekali tak tertarik padanya). Sayangnya, di
tengah jalan aku gagal. Dan pada saat itulah komunikasi terakhirku dengannya.
Aku tak akan menceritakan bagaimana aku gagal, karena sungguh itu akan menjadi
cerita yang panjang.
Kami tak berkomunikasi sama sekali,
karena sejak ganti ponsel kontaknya hilang. Aku juga tak terlalu
menghiraukannya, jadi kehilangan kontaknya bukan masalah rumit buatku. Hingga sekitar
awal tahun 2017, saat aku kuliah di Politeknik Keuangan Negara STAN, secara
tidak sengaja aku tahu instagramnya. Aku anggap dia kakak kelas yang aku kenal.
Kuanggap senior yang baik dan banyak membantuku kala itu, makanya aku follow.
Setelah kejadian aku follow dia, tak ada tanggapan balik. Hingga
akhirnya sekitar awal tahun 2018, He’s
followback my instagram account (and it takes 1 year for him to follow me back.
-_-). 10 Juni 2018, he’s start
texting me on instagram and from here all stories begin. Kami jarang
mengirim pesan, barangkali sekitar sekali dalam dua minggu atau sekali dalam
sebulan. Hingga tiba bulan September (tepat aku selesai Samapta di akhir
Agustus), dia mengabarkan bahwa dia akan ke Bali.
Ok, diberi kabar dia
akan ke Bali, aku sih tak apa. Toh sebelumnya dua temanku juga pernah ke Bali
dan aku menemui mereka untuk makan bersama sekaligus silaturahim. Kurasa aku
akan memperlakukannya demikian. Hingga dia bilang, kalau dia ingin meminta izin
ibuku bahwa akan datang ke Bali (OMG, are
you nut or something? -_-). Yah, bukankah aneh jika aku di Bali dan ibuku
di kampung, lalu kau ingin meminta izinnya tanpaku? (my mother will be shock. -_-). Lalu kukatakan baik-baik padanya,
bahwa izin ibuku cukup aku saja yang meminta, tak perlu kau “mas”. Belum perlu.
Dia bilang akan ke Bali
sekitar tanggal 15-16 September, tapi aku tak bisa pada tanggal 15 karena Capicity Building (like I said before). Kukira saat dia ke Bali, aku hanya perlu
menemuinya untuk makan siang (but I’m
totally wrong). Dia merencanakan pergi ke beberapa tempat dan mengakhirinya
dengan menyaksikan sunset di Uluwatu
(OMG, is it dating?).
Pagi hari kami
berencana bertemu di pantai Sanur, untuk menyaksikan sunrise (but he comes late. -_-).
Aku menyaksikan mentari terbit sendirian dan aku hampir mau pulang karena
kukira rencananya tak jadi dilakukan. Tapi sekitar pukul 07.00 WITA dia menghubungi
dan bilang 15 menit lagi sampai. Ok, ternyata kita ada pada tepi Sanur yang
berbeda. Akhirnya kami memutuskan bertemu di Dunkin Donnuts. Perjalanan kami lanjutkan ke lapangan Renon, kami
berkeliling dan berbincang.

Lalu kami melanjutkan perjalanan ke
Garuda Wisnu Kencana (I think a romantic
place for couple, but not us).
Yah, kami berjalan-jalan, berbincang, foto-foto dan menyaksikan beberapa
pertunjukan. And the last, sunset. Kami
sempat beberapa kali salah arah, hingga akhirnya menemukan satu pantai (dan aku
lupa namanya).
Pantainya tak terlalu banyak orang
dan mayoritas pengunjungnya adalah turis asing. Rasa-rasanya kami sulit
menemukan tempat yang pas untuk menyaksikan matahari tenggelam. Hingga kami
menemukan tempat di bawah batu besar yang cukup lumayan untuk melihat eloknya
senja Pulau Dewata. Aah… senja nampak begitu cantik dari sini, matahari
benar-benar oranye dan bulat tenggelam di ujung laut sana. Masyaa Allah.
Surya tenggelam dan menyisakan
lembayung di langit. Kukatakan padanya “Mas, ayo pulang. Kukira senja hampir
selesai.” Dia hanya tersenyum dan aku tak mengerti apa maksudnya. Orang-orang
hampir tak ada lagi di sekitar kami.
“Dik, aku minta maaf ya.” Katanya.
Tiba-tiba jantungku berdetak sedemikian kencangnya, seolah tahu apa yang akan
dia katakana. Hei, ini momen terbaik untuk menyatakan perasaan, ini senja pulau
Dewata.
“Maaf kenapa mas?” tanyaku. Aku masih
berlagak bodoh untuk hal yang seharusnya kuketahui.
“Maaf ya dik, ketika kamu mendaftar
kampus yang sama denganku, diam-diam aku berdoa kalau kamu tak usah lulus saja.”
“Astaghirullah. Tapi kenapa?
Bukannya mas tahu aku menginginkannya?” sejenak aku kaget dengan kata-kata yang
keluar dari bibirnya.
“Aku tak ingin suka dengan seseorang
yang satu kampus denganku, aku tak ingin bersama seseorang yang satu alumni
denganku.” Katanya. Tapi apa maksudnya, kukira waktu itu dia punya pacar. Dan aku
tak lebih dari sekadar orang asing yang meminta bantuannya. “Dik, saat aku
bilang ingin menemui ibumu, aku tak sekadar meminta izin untuk berkunjung tapi
juga ingin meminta izin mengenalmu lebih lanjut. Yah aku tahu namamu Annisa,
tapi bukan itu. Aku ingin mengenalmu lebih personal dan lebih dalam lagi. Aku
sudah profiling tentang kamu di media sosialmu, tapi kurasa itu tak akan cukup.
Sekarang aku ingin meminta persetujuanmu tentang itu. Bagaimana pendapatmu?”
aku kaget bukan main.
“Bagaimana ya mas, aku kaget. Serius.
Aku tak tahu harus jawab apa, aku hanya belum berpikiran untuk menikah muda. Aku
baru saja memulai karir, bahkan aku belum diangkat sebagai pegawai negeri. Lalu
untuk menikah? Aku masih terlalu muda mas.” Jawabku dengan gugup.
“Yah, aku ingin mengenalmu dulu dik.
Kita ta’aruf. Aku sudah beberapa kali pacaran, dan kurasa aku harus serius
sekarang. Aku tak pernah sebegitu intens berhubungan dengan perempuan
akhir-akhir ini kecuali denganmu.”
“Tapi aku tak pernah berpacaran,
bahkan memikirkannya, aku rasa tidak dulu deh. Aku belum siap menjalin komitmen
dengan siapa pun.”
“Aku tak mengajakmu pacaran dik. Bukan
itu. Apa kamu tak pernah berpikiran untuk membuka hati?” lalu aku diam dan dia
menatapku lamat-lamat.
“Jangan menatapku seperti itu. Aku
tak terlalu suka ditatap sedemikian lekat.” Jawabku tersipu.
“Baiklah jadi bagaimana?”
“Kurasa aku harus memikirkannya. Ayo
mas kita pulang.”
“Jadi, kita benaran pulang? Ok, dik
setelah ini tolong jangan diam ya. Bersikaplah biasa, aku tak mau kita
canggung.” Tunggu apa katanya, mana mungkin aku bisa tak canggung? Mana mungkin
aku bisa biasa aja? Mas, kau buat jantungku hampir copot karenanya. Ah
sudahlah.
Akhirnya kami pulang dan sepanjang
jalan kami terus mengenang. Aku tak tahu apa yang kupikirkan. Tapi hatiku masih
biasa-biasa saja. Dan aku belum siap menerima pinangan. Aku takut kamu tak
serius mas. Aku takut kau hanya mempermainkan perasaanku saja. Aku berterima
kasih atas ungkapan perasaan ini. Tapi kuharap kau benar-benar serius dan bisa
kau buktikan. Aku tak suka main-main.
Komentar
Posting Komentar