Jatuh Bangun Petualangan Gadis Kampung

Aku lulus SMA tahun 2015. Ketika SMA begitu banyak rasa penasaran dan harapan besar menjelang masa perkuliahan nanti. Namun untuk menuju tingkat pendidikan perguruan tinggi tidaklah mudah, setidaknya begitulah keadaan yang digariskan Tuhan padaku. Aku harus menerima kenyataan pahit gagal pada  Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Penelusuran Minat dan Kemampuan Politeknik Negeri (PMDK-PN), keduanya adalah jalur undangan. Sebenarnya sebelum pengumuman SNMPTN, aku dan beberapa teman memutuskan mendaftar ke beberapa Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), waktu itu tempat mendaftarnya ada di Surabaya, Malang, dan Bogor. Saat itu menjadi kali pertama bagiku pergi jauh dari kampung halaman. Bermodalkan restu dan bekal secukupnya, aku hijrah ke Bogor. Aku lebih suka menyebut perjalanan ke Bogor sebagai petualangan daripada merantau, karena belum pasti benar aku akan menetap di Bogor. Tahap demi tahap kulalui, hingga kurang dua tahapan final. Lagi-lagi kenyataan pahit menghinggapiku, aku gagal. Sedangkan hasil tes di Surabaya sudah gagal pada tahap pertama, sedangkan tes di Malang terpaksa tidak dilanjutkan karena jadwal berbenturan dengan tes di Bogor. Aku hampir menyerah, tapi ada jalur lain yang belum kulalui yaitu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) atau jalur tulis. Alhamdulillah, tahun 2015 aku berhasil lolos SBMPTN dan melanjutkan pendidikan pada salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, Jawa Timur.

Awal merantau menjadi saat-saat sulit, baru beberapa hari sudah dilanda rindu, anak gaul zaman now menyebutnya homesick. Biasanya ada yang menyiapkan makanan, kini harus menyiapkan sendiri. Biasanya makanan serba ada di kulkas, kini harus beli dulu dan mengatur keuangan agar cukup untuk ongkos makan, jajan, kuliah dan tetek bengek lainnya. Biasanya ketika sakit ada yang merawat, kini harus merawat diri sendiri. Bila beruntung teman yang perhatian dan peduli akan datang memberi bubur dan sejumlah obat. Ketika tubuh pegal karena kecapekan, ibu senantiasa memanggil tukang pijat. Tapi ketika di kosan, cukup melumuri sekujur tubuh dengan hot cream ditambah koyo bila perlu. Biasanya pas SMA naik motor, ke kampus terpaksa jalan kaki karena tidak berani bawa motor dari kampung. Tubuh pun kadang suka kaget dengan adaptasi semacam ini, kadang pas pulang ditanya "kok kamu kurusan?", "kulit kamu sekarang menghitam ya?", dan aneka macam kalimat pedih lainnya.

Tugas orientasi mahasiswa baru pun begitu banyak hingga hampir tiap hari pulang larut. Padahal besoknya di hari Minggu aku ingin mengikuti tes sekolah kedinasan lagi. Iya, hatiku masih belum ikhlas, aku masih ingin berjuang. Aku ingin merantau ke barat, ke Jakarta bukan ke timur. Seminggu penuh menjalani orientasi, minggu selanjutnya masih minggu tenang. Perkuliahan baru dimulai pada pekan ketiga. Aku berniat menjalani minggu tenang di rumah, aku putuskan untuk pulang kampung. Jumat sore aku ke terminal bus Purabaya, orang-orang lebih akrab menyebutnya terminal Bungurasih. Luar biasa. Manusia bagai ombak di lautan yang menggulung dan membanjiri tepian pantai. Tapi jumat sore itu manusia berdesakan, antre menaiki bus tujuan mereka. Paling banyak adalah bus jurusan Madiun-Solo-Yogyakarta, bus yang akan kutumpangi. Bus ekonomi yang maksimal memuat enam puluh orang, dipaksa muat hampir dua kali lipatnya. Sekitar hampir seratus orang berdesak dalam bus kota antar-provinsi itu. Bagi yang tak dapat tempat duduk ya terpaksa harus berdiri atau kalau sedikit beruntung bisa duduk di dekat sopir dan kenek, di atas mesin busnya.

Apakah perjalanan menaiki bus ekonomi menyenangkan? Yah, tak dapat disebut menyenangkan juga, tapi cukup menantang. Jalanan di jalan raya Mojokerto-Mojoagung-Jombang-Nganjuk yang cukup sepi biasanya dipakai sopir bus sebagai arena balap. Bus saling adu cepat dengan bus lain, alhasil penumpang seperti pohon kelapa yang diterpa angin, terhuyung mengatur keseimbangan di dalam bus. Menaiki bus sudah seperti menunggang roller coaster. Mahasiswa biasa menyebut bus jenis ini dengan lumba-lumba, karena gaya mengendarai sopirnya sudah seperti mamalia laut yang hobi berenang ke udara itu. Selain itu juga karena gambar pada busnya adalah lumba-lumba. Apalagi kalau lagi kondisi berdesakan lalu ada pedagang kaki lima atau pengamen datang. Kita harus mengatur posisi tubuh seramping mungkin agar jalan sempit yang dibuat berdiri penumpang bisa dilewati pedagang kaki lima atau pengamen. Tapi kalau tak mau melewati lika-liku bus ekonomi bisa menggunakan bus patas (kecepatan terbatas), bus jenis ini ibarat bus level bisnis. Penumpang tidak akan dibiarkan berdiri, jadi dipastikan semua penumpang dapat tempat duduk, bila tidak ya kenek atau kondektur tidak akan menaikan penumpang lagi ketika bus penuh. Kita pun mendapat bonus air mineral 600ml saat naik bus patas. Pengamen dan pedagang kaki lima juga tidak diizinkan naik bus patas, jadi dipastikan perjalanan akan dilewati dengan cukup nyaman. Namun kualitas tentunya berbanding lurus dengan harga. Harga karcis bus patas bisa dua hingga tiga kali lipat bus ekonomi.

Ketika sampai rumah berasa seperti tuan putri, apa-apa serba ada. Tunggu, ada satu yang kurang. Saat di kampung susah sinyal. Jaringan internet paling lancar adalah di sekitar kantor telkom di tengah kota. Itu pun masih kalah lancar dibanding di kota. Jalanan di kota kecil-ku lengang, tidak seperti di kota yang ramai kemacetan. Di kampung tidak ada demo-demo, ini antara memang damai atau rakyatnya lemah demokrasi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Appointment in Samarra (Mary's Death)

Tiba-Tiba

Cinta Rahasia