Namaku ‘Annisa’, bukan ‘Ukhti’

Lulus SMA, sebelum masuk PKN STAN aku sempat kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Meskipun sudah kuliah, aku masih punya cita-cita untuk lanjut di sekolah kedinasan. Maka tak henti-hentinya berbagai cara dan upaya kulakukan agar bisa masuk perguruan tinggi kedinasan. Berkaca dari kegagalan seringkali pada tahap tes kesehatan, aku mulai biasakan tiap pagi jogging. Tidak setiap hari tetapi rutin tiap minggu minimal tiga kali.

Kegiatan lari pagi ini seringkali kuceritakan pada teman-teman terdekatku, hingga salah seorang teman yang kebetulan anak rohis (rohani islam) mengajak untuk ikut kajian fakultas. Awalnya tidak terlalu tertarik, memangnya kegiatannya apaan, kan ngantuk kalau dengerin ceramah pagi-pagi. Jadi waktu itu kajian mingguan fakultas dilaksanakan tiap hari Senin pagi pukul 06.30, makanya temanku menawarkan siapa tahu selesai jogging bisa mampir.

Awalnya sih ogah. Pasti ngebosenin, pasti orang-orang yang ikut strict semua, nanti gimana kalau aku kejebak aliran macam-macam? Astaghfirullah. Berbagai prasangka buruk mengganggu pikiranku. Aku hanya ingin menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, yang lurus-lurus saja, tidak terpengaruh macam-macam.

Tapi berhubung temanku yang mengajak ini adalah orang yang menurutku baik, serta dia orang yang cukup pandai dan disegani teman sekelasnya, aku sedikit terbujuk buat ikutan. Dia juga pandai sekali merayu, katanya bakal ada snack dan minuman gratis. Bahkan biasanya ada sarapan gratis, lumayan kan buat anak kosan. Lagian selesai lari pasti capek kan. Astaghfirullah, aku malah tergiur makanannya. Haha.

Akhirnya, untuk pertama kalinya aku datang ke kajian kampus. Kajiannya di musholla fakultas, pas sampai sudah banyak mbak-mbak memakai kerudung lebar, rok terusan panjang, bahkan beberapa ada yang memakai masker penutup wajah. Malah yang laki-laki ada yang memakai sarung. Tunggu, ini mereka mau kuliah apa mau pengajian? -_- Iya, itulah pemikiranku waktu itu. Begitu picik.

Melihat gadis-gadis di sana sudah berpenampilan rapi, cantik, menutup aurat begitu, aku jadi malu pada diri sendiri. Aku datang memakai celana training dengan baju olahraga berkerah, kerudung bahan kaos yang pendek dan badan keringetan. Sudah berantakan, bau pula. -_- Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di pinggir saja, biar tidak mengganggu jamaah lain.

“Ukh, duduknya di sini saja, agak ke dalam.” Salah seorang mbak-mbak berjilbab lebar seolah sedang menyilakan aku untuk duduk di sampingnya. Ah tapi mungkin dia sedang berbicara pada temannya yang namanya ‘Ukh’, entah Ukhi atau siapa.

“Ayo duduk di dalam saja Ukh, nanti tidak kedengaran kajiannya.” Salah seorang mbak-mbak berjilbab lebar lainnya menarik tanganku dan mengajakku duduk di dalam. Tunggu, jadi tadi ngajak ngobrol aku, bukan Ukhi?

“Saya Anna, ukhti dari tadi dipanggil kok tidak nyaut. Duduk di sini saja ya, sebentar lagi kajian dimulai.” Mbak-mbak yang berjilbab lebar yang menyilakan aku tadi ternyata bernama Anna. Tunggu, namaku bukan Ukhti. Dari dulu memang seringkali orang-orang salah mengenaliku karena wajahku yang pasaran.

“Saya maksudnya mbak?” aku menunjuk diri sendiri, memastikan yang dimaksud memang diriku.

“Iyalah, memang siapa lagi. Ukhti namanya siapa?” mbak Anna hanya tersenyum, tapi aku bingung aku ini kan ‘Annisa’ bukan ‘Ukhti’.

“Namanya saya Annisa mbak, bukan Ukhti. Mungkin salah orang. Hehe.” Aku cuma nyengir tanpa rasa salah.

“Masyaa Allah, jadi dari tadi dipanggil tidak nyaut karena itu. Hahaha. Ukhti itu panggilan pada saudara perempuan sesama muslim. Bukan nama orang, saya kan tadi belum tahu nama kamu, makanya tadi saya panggil ‘Ukh’.” Mbak Anna dan beberapa temannya yang lain sontak tertawa mendengar pernyataanku. Ya Allah, malu habis-habisan. Ini pengalaman pertama yang awkward banget. Akhirnya aku tetap mengikuti kajian sampai selesai, dapat snack dan minum, serta dapat saudara baru di sini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Appointment in Samarra (Mary's Death)

Tiba-Tiba